ejak awal abad ke-20, industri rokok sangat bergantung pada kekuatan iklan untuk membangun citra dan meningkatkan penjualan. Iklan rokok tidak hanya menjual produk, tapi juga membentuk persepsi gaya hidup, status sosial, bahkan maskulinitas. Dampaknya begitu besar, hingga rokok menjadi bagian dari budaya populer di banyak negara.
Pada era 1950-an hingga 1980-an, iklan rokok mencapai masa kejayaannya. Di Amerika Serikat dan Eropa, merek-merek besar seperti Marlboro, Camel, dan Lucky Strike mengemas citra rokok dengan narasi kebebasan, petualangan, dan kejantanan. Marlboro Man, misalnya, adalah sosok koboi maskulin yang menjadi ikon iklan rokok paling ikonik sepanjang sejarah. Gaya ini ditiru secara global, termasuk di Indonesia.
Tak hanya dalam bentuk poster dan iklan televisi, industri rokok juga merambah film dan musik. Banyak tokoh utama dalam film Hollywood tampil merokok di layar lebar, seolah itu bagian dari karakter yang kuat, keren, atau seksi. Iklan rokok juga menyasar event olahraga, seperti balap motor, tinju, dan sepak bola, melalui sponsor utama.
Di Indonesia, iklan rokok sempat mendominasi tayangan televisi, papan reklame, hingga bioskop. Meski dilarang menampilkan adegan orang merokok, iklan tetap memuat pesan-pesan simbolik seperti “muda”, “berani”, atau “bebas”. Ini secara tidak langsung memengaruhi persepsi masyarakat, terutama remaja, bahwa rokok slot ijobet adalah bagian dari identitas diri yang keren dan modern.
Namun, seiring meningkatnya kesadaran tentang bahaya rokok, banyak negara mulai menerapkan larangan iklan rokok, terutama di media massa dan ruang publik. Di Indonesia, iklan rokok dilarang tayang di televisi pada jam anak-anak, serta dilarang keras di media digital tertentu. Perusahaan rokok kemudian beralih ke pemasaran terselubung melalui sponsor konser, acara seni, dan influencer media sosial.
Meski iklan rokok telah dibatasi, jejak budaya yang ditinggalkannya masih terasa. Banyak orang yang tumbuh di era iklan rokok memiliki asosiasi emosional dengan merek tertentu. Inilah yang menjadi tantangan besar dalam upaya menghapus rokok dari budaya populer.
Untuk melawan warisan ini, dibutuhkan pendekatan kreatif dan edukatif yang setara. Kampanye anti-rokok harus mampu menyentuh aspek budaya dan identitas, bukan sekadar menampilkan gambar penyakit di bungkus rokok.